Senin, 23 November 2015

Tazkiyatun Nufus (Penyucian Hati & Jiwa)

Q.S Al-Jasiyah (23) :
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas pengelihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?"

Hawa nafsu merupakan hal yang harus dikendalikan oleh setiap manusia untuk menjaga perilaku agar tetap berada di jalan yang benar dan tidak menuhankannya. Perilaku menuhankan hawa nafsu dapat menjangkit semua orang yang beragama. Di dalam agama islam kita tidak boleh menghambakan kepada selain Allah termasuk hawa nafsu. Orang pintar, orang alim, ataupun orang yang berkuasa, mereka akan rusak karena hawa nafsunya. Kebanyakan dari orang-orang tersebut justru malah mempertahankan hawa nafsunya (Contohnya Koruptor). Bukan cuma hal itu, tetapi yang lebih parah adalah orang yang fasik, yaitu orang yang berbuat jahat dan dia mengetahui bahwa perbuatan itu adalah perbuatan jahat.

Cahaya Allah begitu terang benderang dan semerbak indah, tetapi tidak akan berguna bagi orang-orang yang orientasinya hanya hawa nafsu. Pada hakekatnya, manusia dan malaikat sangat berbeda. Semua yang ada pada malaikat itu adalah kebaikan tetapi jika pada diri manusia adalah perpaduan antara syaiton dan cahaya malaikat (Al-Qur'an). 

Fitrah merupakan warna dasar dari penciptaan Allah seperti halnya penciptaan manusia (Suci, Putih, Bening). Tetapi pada saat diturunkan ke dunia semua itu menjadi buram oleh hal-hal yang merusak salah satunya hawa nafsu tadi. Nah, untuk kembali ke fitrah, maka yang diperlukan adalah Tazkiyatun Nufus (K.H Ahmad Dahlan). Jiwa akan mencapai titik fitrah tertinggi ketika kita bisa mengorbankan apa yang kita inginkan (harta, jabatan, barang, waktu, dan lain-lain), itulah pensucian jiwa.

Jadilah Manusia yang Seimbang

Arti seimbang disini adalah dalam hal jasad/dunia dan spiritual/hati. Dalam hal ini Nabi pun mengkritik manusia yang tidak seimbang dalam kehidupannya. Contoh dari manusia yang tidak seimbang dalam sejarah nabi adalah seorang sahabat yang tidak mau menikah, berpuasa tidak mau berbuka, beribadah tanpa tidur, dan lain lain. Sedangkan apa yang dilakukan nabi tidak demikian. Maka dari hal itu, munculah hadist "Siapa yang mengikuti sunnahku berarti dia umatku".

Sumber :
Kajian Ahad Pagi (Islamic Center Masjid UAD) Oleh : Ust. H. Fathurrahman Kamal, Lc, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar