Kamis, 26 November 2015

Tentang Hisab dan Rukyat

Jika berbicara mengenai fiqih islam, cakupannya begitu luas dan begitu kompleks. Umat islam di Indonesia memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai fiqih ini. Misalnya, persoalan penentuan tanggal-tanggal penting dalam islam yang tidak jarang selalu berbeda antara ormas satu dan ormas yang lainnya. Tidak hanya di Indonesia saja, tetapi dunia internasional pun mengalami hal ini karena sebagai umat islam, kita tidak mempunyai satu kalender untuk menyatukan umat seluruh dunia. Salah satu penyebab tidak adanya kalender pemersatu umat tersebut adalah karena perbedaan masalah dalam fiqih. Fiqih itu bersumber dari Al-Qur’an dan Ash-Sunah dengan melalui ijtihad para ulama. Setelah para Ulama dan tokoh-tokoh Islam terdahulu melakukan ijtihad, hasilnya pun sangat beragam.

Umat Islam dalam berbagai penjuru dunia masih berpandangan bahwa penentuan tanggal itu hanya memakai rukyat, maka sampai kapanpun kalender islam tidak akan pernah ada. Padahal rukyat itu hanyalah sebuah cara. Misalnya kita memakai batik, baju taqwa, sarung itu merupakan cara menutup aurat kita disini. Sedangkan dahulu Rasulullah SAW tidak pernah memakai batik. Contohnya lagi adalah pada peperangan Rasulullah SAW berperang pakai pedang, namun di Indonesia orang jawa berperang menggunakan keris. Tetapi substansi dari pedang dan keris itu adalah senjata. Dulu Rasulullah SAW memakai jubah dan sorban, Ini hanya sekedar cara berpakaian saja dan bukan masalah pakaian apa yang digunakan. Misalnya lagi kita sekarang memakai peci hitam, rasulullah dulu memakai sorban. Namun, fungsi sorban saat itu bukan hanya untuk menutup kepala tetapi juga untuk melindungi hidung agar tidak terkena debu padang pasir. Saat badai gurun terjadi di Arab, semua orang di Arab memakai kerudung atau cadar serta sorban yang berfungsi untuk melindungi hidung dan mata dari debu dan juga bisa digunakan untuk sholat.

Lantas, darimana landasan pemikiran seperti itu? Jawabanya tidak lain dan tidak bukan adalah Al-Qur’an dengan Ash-Sunah. Jadi, simpulan diatas bukan simpulan yang tiba-tiba muncul, melainkan Rasulullah SAW sudah mengajarkan sejak dahulu. Hal ini dibuktikan dalam sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah mengutus sahabat untuk memata-matai yahudi Bani Quraitah. Sebelum keberangkatan ke bani quraitah, Rasulullah SAW berpesan pada sahabat yaitu “tidak boleh sholat ashar kecuali di Bani Quraitah”. Dipertengahan jalan, pimpinan dari sahabat tersebut membacakan pesan Rasulullah SAW tadi, sehingganya para sahabat bergegas memacu kudanya menuju Bani Quraitah. Namun ketika waktu sholat ashar tinggal sepertiga dan hampir habis, sahabat-sahabat tersebut belum juga sampai di Bani Quraitah. Oleh karena itu, Ada seorang sahabat yang usul untuk sholat ashar di perjalanan saja. Sebagian sahabat menolak karena tetap berpegang teguh pada pesan Rasulullah SAW tadi. Akhirnya sebagian sholat di perjalanan dan sebagian melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di Bani Quraitah shalat ashar kelompok yang menolak sholat di perjalanan tadi hampir telat dan serasa sudah magrib. Manakah diantara 2 kelompok ini yang benar?

Ketika hal ini disampaikan kepada Rasulullah SAW, Rasul membenarkan 2 kelompok tersebut. Untuk yang shalat di Bani Quraitah benar karena menjalankan sesuai dengan pesan nabi, dan yang shalat di perjalanan juga benar karena menjalankan shalat ashar di waktu yang sesuai. Sahabat yang shalat ashar di Bani Quraitah memahami pesan Nabi hanya seharfiah isinya saja. Sedangkan para sahabat yang shalat di perjalanan memahami pesan Nabi dengan melampaui bunyi harfiahnya yaitu mereka mampu memahami substansi dari pesan Nabi tersebut yang pada intinya perjalanan harus disegerakan agar bisa sampai di Bani Quraitah pada waktu ashar.


Nah, hisab dan rukyat juga sama seperti itu. Orang-orang yang merasa paling nyunah selalu memakai jubbah, makan memakai 3 jari, bepergian tidak pakai sepatu tapi terompah dan lain sebagainya. Padahal nabi dari dulu sudah berpesan dan mengajarkan bahwa cara memahami nash agama (Al Quran dan Ash-Sunah) kadang kita harus memilah mana pesan nabi dan mana kondisi keadaan saat itu. Ketika nabi makan pakai 3 jari ya wajar, karena yang dimakan saat itu adalah kurma, coba saja kalau yang dimakan itu bubur bagaimana jadinya? Ketika Rasulullah SAW mewajibkan untuk membayar zakat memakai kurma, kismis, serta gandum, tapi kenapa kita pakai beras? Padahal dihadist tidak disebutkan adanya beras. Namun, kita menyimpulkan bahwa kurma itu merupakan makanan pokok makanya munculah beras. Bahkan, menurut mahzab Hanafi, dahulu kurma bukan hanya makanan pokok tetapi sebagai alat transaksi juga. Mahzab Hanafi memperbolehkan membayar zakat sesuai nilainya yang diganti dengan uang.


Bagaimana dengan hisab dan rukyat? Ketika ada seorang ustad mengatakan bahwa sudah jelas islam mengajarkan kita pakai rukyat (ulama) berdasarkan hadis Buchori Muslim dari Abdullah Bin Abbas. “Berpuasalah karena merukyat awal bulan, beridul fitrilah kalian karena merukyat awal bulan”. Tapi ketika hilal belum terlihat, maka nabi mengajarkan untuk menyempurnakan hitungan bulan yang sudah berjalan sebanyak 30 hari. Pemahaman seperti itu dengan hanya membaca 1 hadist seperti itu tampaknya memang benar. Tapi ada masih hadist lain lagi yang menurut penelitian lebih shahih dibandingkan hadist yang pertama. Karena hadist ini diriwayatkan oleh sahabat yang lebih senior. Dan diduga ada satu kalimat yang bukan dari Nabi tapi dari rawi dan rawi tersebut mampu untuk menransfer pesan Nabi dengan baik. Dalam hadist yang kedua terdapat kata Fakdurulahu (hitunglah). Sebenarnya Al-Qur’an sudah menyebut Hisab tapi Nabi lebih memilih rukyat, karena pada zaman dulu umatnya belum tau apa itu hisab. Bangsa arab dahulu belum punya tradisi menulis dan menghitung, makannya tidak diterapkan sistim hisab pada jaman Nabi. Tapi Nabi mengatakan kalau umat sudah bisa menghitung seperti sekarang ini, maka bisa pakai hisab.

Sumber :
Kajian Ahad Pagi (Islamic Center Masjid UAD) Oleh : Ust. H. Wawan Gunawan, Lc, M.Ag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar